DIBALIK KATA SYUKRON
Syukron atau terima kasih adalah ungkapan yang ringan dan mudah diucapkan. Namun sedikit yang menyadari urgensi dan nilai-nilai yang ada dibalik ungkapan ini. Arogansi dan keangkuhan seringkali menjadi biang utama keengganan seseorang untuk mengucapkan terimah kasih pada orang yang telah berbuat baik kepadanya. Padahal keengganan untuk berterima kasih masuk dalam kategori kufur nikmat.
Di dalam kitab Al Kabaa’ir Imam Adz Dzahabi –rahimahullah- menuturkan,
“Mengkufuri nikmat/kebaikan (enggan berterimakasih-pent) kepada orang yang berbuat baik (kepada kita) adalah dosa besar.
Allah ta’ala berfirman:
“Hendaknya kalian bersyukur pada-Ku dan pada kedua orang tua” (Luqman:41)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ
“Tidak bersyukur kepada Allah siapa saja yang tidak berterimakasih kepada manusia (yang telah berbuat baik padamu, pent)”. (HR Abu Daud, dan At Tirmidzi)
Para Ulama Salaf sepakat bahwa kufur nikmat adalah dosa besar. Adapun cara bersyukur (berterimkasih. pent) adalah membalas kebaikan tersebut dengan mendoakan sang pemberi.
Diantara doa yang diajarkan Nabi tercinta dalam rangka membalas kebaikan orang lain adalah ucapan: Jazakallahu khairan.
Beliau bersabda:
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ ، فَقَالَ لِفَاعِلِهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا , فَقَدْ أبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“Barangsiapa yang diberi suatu kebaikan, kemudian mengatakan kepada pemberi kebaikan tersebut, ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu)’ Sungguh yang demikan itu telah menunjukkan kesungguhannya dalam pujian (terimakasih).” (HR. At Tirmidzi)
Makna doa tersebut adalah,
“semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang lebih baik”.